Bahaya Ide Mengembalikan Pilkada Tak Langsung

16 hours ago 5

PARTAI Golkar menggulirkan lagi wacana mengembalikan perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi tidak langsung. Sikap ini menjadi salah satu keputusan politik yang dihasilkan Golkar dalam Rapat Pimpinan Nasional pada 20 Desember lalu.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Partai berlogo pohon beringin itu menilai skema pilkada tak langsung sebagai bentuk kedaulatan rakyat dengan tetap menitikberatkan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan. Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengatakan, sistem pilkada tidak langsung atau melalui DPRD juga dapat menghemat ongkos politik yang dikeluarkan pasangan calon.

Menurut Bahlil, pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati secara langsung justru kerap mendatang malapetaka. "Orang cerai gara-gara pilkada. Di kampung saya, orang tidak mau menegur saya gara-gara pilkada," ujar Bahlil dalam keterangannya pada Ahad, 21 Desember 2025.

Masyarakat sipil menolak ide mengembalikan pilkada tidak langsung tersebut. Mereka berpendapat pelaksanaan pilkada lewat DPRD menimbulkan bahaya bagi demokrasi.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia atau Formappi, Lucius Karus, mengatakan praktik pilkada tidak langsung menyebabkan legitimasi kepala daerah akan menurun. Sebab pemerintah pusat dapat mengendalikan kepala daerah yang dihasilkan melalui pemilihan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD.

Menurut dia, pilkada tidak langsung juga membuat pemerintahan di daerah cenderung tertutup. Akibatnya kepala daerah dan legislatif di daerah dapat sewenang-wenang menjalankan pemerintahan tanpa perlu mempertimbangkan rakyat.

"Pemerintahan yang tertutup bisa jadi sarang terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme," kata dia dihubungi pada Senin, 22 Desember 2025.

Bahaya yang ditimbulkan dari pelaksanaan pilkada tidak langsung dinilai terlalu serius untuk diabaikan. Terlebih, Lucius menilai perubahan sistem pilkada yang diusulkan Golkar ini bisa jadi hanya kelinci percobaan untuk mengusulkan kepentingan elite.

Dia melihat wacana mengembalikan pilkada tidak langsung lantaran ada keinginan dari kekuasaan memantapkan sistem pemerintahan yang sentralistik dan otoriter. Termasuk mengubah konstitusi dengan memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) agar kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat di masa lalu bisa terulang. "Kalau semuanya mulus bukan tidak mungkin akan muncul keinginan agar presiden dipilih oleh MPR saja," katanya.

Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal, berpendapat pelaksanaan pilkada tidak langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional. Pilkada melalui DPRD, kata dia, justru hanya mengurangi kedaulatan rakyat. "Juga membuka ruang transaksi politik yang lebih gelap di balik pintu tertutup DPRD," ujar dia dalam keterangannya pada Senin, 22 Desember 2025.

Haykal mengatakan pertimbangan ongkos politik yang mahal di pelaksanaan pilkada langsung tidak mendasar. Tingginya biaya pilkada itu disebabkan oleh proses pencalonan yang transaksional dan tidak akuntabel.

Menurut dia, pelaksanaan pilkada langsung selama ini telah mendorong kompetisi yang lebih terbuka. Pilkada dipilih oleh rakyat, ujar dia, juga menjadi capaian penting dalam konsolidasi demokrasi pasca-reformasi, memperluas ruang akuntabilitas, dan membuka partisipasi publik.

"Jika mengembalikan pilkada tak langsung, maka rantai sirkulasi dan regenerasi kepemimpinan akan terganggu, nepotisme merajalela, dan menciptakan otoritarianisme baru," kata Haykal.

Read Entire Article