Catatan Koalisi Sipil Soal RUU KKS yang Dinilai Abaikan HAM

2 hours ago 1

SEJUMLAH organisasi masyarakat sipil menilai rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) berisiko mengancam hak asasi manusia atau HAM dan kebebasan sipil. Hal itu merespons selesainya penyusunan RUU KKS yang akan diajukan ke legislatif sebagai prioritas legislasi nasional 2026.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Peneliti Mitra Raksha Initiatives, Parasurama Pamungkas, menyoroti adanya miskonsepsi dalam perumusan konsep ketahanan siber. Menurut dia, ketahanan seharusnya dimaknai sebagai resiliency atau ketangguhan sistem, bukan pertahanan siber yang berorientasi militer. 

“Dalam naskah akademik, ketahanan justru diidentikkan dengan cyber defense, padahal ruang lingkupnya berbeda,” kata Parasurama, siaran pers, dikutip Selasa, 23 Desember 2025.

Penilaian itu mengemuka dalam diskusi oleh lembaga Raksha Initiatives, Centra Initiative, Imparsial, dan DeJure. Organisasi sipil menilai, meski mengalami sejumlah perubahan dibandingkan draf yang sempat dibahas pada 2019 dan awal 2024, substansi RUU ini dinilai masih menyisakan banyak persoalan.

Kekeliruan berdampak pada absennya pendekatan berpusat pada manusia (human centric) dalam RUU KKS. Rumusan tujuan RUU dinilai lebih menekankan keamanan negara ketimbang perlindungan individu. “Keamanan siber yang baik seharusnya melindungi individu terlebih dahulu, lalu perangkat, dan jaringan,” ujar Parasurama. 

Dari sisi proses, minimnya keterbukaan dan lemahnya pelibatan pemangku kepentingan turut disorot. RUU dinilai belum mencerminkan prinsip multistakeholderism, termasuk keterlibatan industri dan masyarakat sipil. Kondisi itu dikhawatirkan membuka risiko terhadap kebebasan sipil, perlindungan kelompok rentan, dan kebebasan pers.

Kekhawatiran serupa disampaikan staf advokasi LBH Pers, Chikita Edrina. Ia menilai ketiadaan jaminan perlindungan individu dalam RUU KKS justru berpotensi menambah tekanan terhadap kebebasan pers. “Jurnalis tidak hanya menghadapi peretasan, tapi juga doxing dan pembobolan akun,” kata Chikita.

Chikita menambahkan, RUU KKS semestinya tidak perlu memuat tindak pidana baru karena pengaturan pidana siber telah ada dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru. “Yang lebih penting adalah penegakan hukum atas serangan digital terhadap media dan jurnalis yang hingga kini masih gelap,” ujar dia. 

Anggota DPP Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Erwin Natosmal, memperingatkan potensi RUU KKS menjadi “UU ITE baru”. Menurut dia, RUU ini tidak secara serius menempatkan perlindungan HAM sebagai landasan. “Dalam konsideran mengingat tidak ada satu pun rujukan pasal UUD 1945 terkait HAM. Yang disebut hanya kewenangan Presiden dan DPR,” kata Erwin.

Ia menilai orientasi yang terlalu state centric berisiko menimbulkan praktik kriminalisasi dalam implementasi, sebagaimana pengalaman penerapan UU ITE. Sementara itu, Staf Penguatan Kelembagaan Solidaritas Perempuan, Rhina, menyoroti absennya perhatian khusus terhadap kelompok rentan, terutama perempuan. Menurut dia, perempuan—khususnya di wilayah pedesaan—sangat rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO). “Literasi digital yang rendah membuat mereka semakin rentan,” ujar dia. 

Rhina merujuk data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang mencatat sedikitnya 1.701 kasus KBGO sepanjang 2025. Ia menilai angka tersebut berpotensi lebih besar karena banyak korban tidak melapor. Karena itu, ia mendesak agar RUU KKS secara eksplisit mengakomodasi perlindungan kelompok rentan di ruang siber.

Co-Founder Raksha Initiatives, Wahyudi Djafar, menilai pembentuk kebijakan masih gagap merespons kompleksitas ancaman siber. Ia menjelaskan ancaman siber mencakup gangguan terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan sistem, yang dapat menimpa individu maupun publik luas. 

“Kebijakan keamanan siber harus mampu melindungi keamanan individu,” kata Wahyudi.

Ia juga menekankan pentingnya gradasi ancaman dan kejelasan pembagian kewenangan antar institusi. Menurut dia, ancaman siber secara konseptual terbagi dalam keamanan teknis, kejahatan siber, keamanan sipil, dan perang siber. “Militer tidak seharusnya menangani ancaman di luar perang siber,” ujar dia. 

Ancaman siber di Indonesia terus meningkat, Kaspersky mencatat 19,17 juta upaya serangan siber berbasis web sepanjang 2024, meski turun dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara Badan Siber dan Sandi Negara melaporkan 122,79 juta anomali lalu lintas internet, dengan sasaran utama pelayanan publik. 

Meski demikian, Indonesia diklasifikasikan sebagai negara Tier 1 dalam Indeks Keamanan Siber Global 2024 dengan predikat role modelling. Namun, organisasi masyarakat sipil menilai capaian tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan perlindungan hak asasi dan kebebasan sipil dalam penyusunan RUU KKS.

Read Entire Article