Mahasiswa UT Gugat UU Pendidikan Tinggi soal Pendidikan Jarak Jauh ke MK

1 week ago 17

SEBANYAK 13 mahasiwa Universitas Terbuka (UT) mengajukan uji materil atas proporsionalitas sistem penilaian pendidikan jarak jauh yang tertuang dalam Pasal 31 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Para Pemohon antara lain Bernita Matondang, Susi Lestari, M. Imelda Novita, Nova Syafariyanto Prambudi, Indah Lidiyani, Ananda Putri Puspita, Lely Diana Hatan, Ariyanto Zalukhu, Karwana Sakahou, Ame Mira Putri Pramesti, Evita Mulyani, Ikke Nurjanah, dan Mahira Azzahra Widiani.

Dalam petitumnya, mereka mempertanyakan batasan hukum yang jelas mengenai proporsionalitas sistem penilaian pendidikan jarak jauh yang diatur dalam Pasal 31 Ayat (3) UU Pendidikan Tinggi. Adapun pasal yang dimaksud berbunyi “Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.”

Para pemohon, menyatakan pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum bagi perguruan tinggi menentukan sistem penilaian. Ketiadaan kejelasan norma itu disebut membuka ruang penerapan kebijakan yang sangat beragam antarpenyelenggara. Akibatnya, para pemohon tidak mendapatkan perlindungan yang setara, jika dibandingkan dengan mahasiswa pendidikan jarak jauh (PJJ) pada perguruan tinggi lainnya. 

Pemohon menuturkan hal itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Hak atas pengajaran sebagaimana dijamin beleid tersebut, menurut para pemohon tidak hanya dimaknai sebagai hak untuk terdaftar secara administratif sebagai mahasiswa. Tetapi mencakup hak untuk memperoleh proses pendidikan yang adil, rasional, bermakna, dan berorientasi pada pengembangan kemampuan peserta didik secara utuh. 

"Mulai dari kegiatan belajar, bimbingan akademik, interaksi dosen dan mahasiswa, hingga sistem evaluasi yang proporsional dan berkeadilan," kata Priskila Oktaviani saat membacakan dalil gugatan dalam persidangan pertama sebagaimana dilansir dari laman resmi Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 18 Desember 2025.

Dalam kesempatan itu, pemohon membandingkan penyelenggaraan pembelajaran dan sistem penilaian pada empat perguruan tinggi penyelenggara PJJ. Menurut dia, seluruh institusi sama-sama menyelenggarakan pembelajaran dalam kerangka waktu satu semester, terdapat variasi yang cukup signifikan dalam durasi efektif perkuliahan, keberadaan UTS, bobot UAS, mekanisme remedial, serta sistem penilaian. 

Perbedaan tersebut sejatinya mencerminkan otonomi pengelolaan akademik masing-masing perguruan tinggi. Namun demikian, pemohon berpendapat variasi yang terlalu lebar dalam aspek fundamental seperti bobot ujian akhir semester dan akses terhadap remedial juga menunjukkan bahwa norma dalam undang-undang belum memberikan batasan minimum yang seragam sebagai instrumen perlindungan hak mahasiswa.

Atas dasar itu, para pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi adalah konstitusional, sepanjang frasa "sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan" dimaknai bahwa pengaturan teknis mengenai proporsionalitas penilaian proses dan hasil wajib diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana yang menjamin kepastian hukum, keadilan akademik, dan perlindungan hak mahasiswa.

Pemohon dalam gugatannya juga meminta mahkamah menyatakan bahwa Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat apabila frasa "sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan" dimaknai tidak mewajibkan adanya pengaturan standar minimum proporsionalitas penilaian proses dan hasil dalam peraturan pelaksana. 

Pada persidangan perdana itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta para pemohon membaca kembali struktur dari pasal tersebut. Mulai dari pendelegasian pada peraturan menteri, atau surat keputusan rektor, dan lain sebagainya. "Jika lihat perbandingan dari pelaksanaannya di perguruan tinggi, sepertinya bukan di pasal UU-nya tetapi di Permen atau SK rektor atau dekan dan prodi,” kata dia. 

Para pemohon lantas diminta memperbaiki isi gugatan. Mereka diberikan waktu 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Mahkamah akan menggelar sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para pemohon.

Read Entire Article