MK Sarankan UU Tipikor Dirumuskan Ulang

5 days ago 12

MAHKAMAH Konstitusi mendorong pembentuk undang-undang untuk segera mengkaji secara komprehensif dan membuka peluang perumusan ulang Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dorongan tersebut termuat dalam pertimbangan hukum Putusan Perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024 yang dibacakan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, Rabu, 17 Desember 2025.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyatakan bahwa perumusan norma sanksi pidana bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, melainkan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Ia juga menjelaskan bahwa hal tersebut berkaitan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang saat ini telah masuk dalam program legislasi nasional tahun 2025–2029.

“Maka melalui putusan a quo, Mahkamah menegaskan agar pembentuk undang-undang segera memprioritaskan melakukan kajian secara komprehensif dan membuka peluang untuk merumuskan ulang Undang-Undang Tipikor a quo, khususnya berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor,” kata Guntur di Gedung MK, Rabu, 17 Desember 2025. 

Mahkamah mengatakan perubahan norma bukan wewenang MK selaku lembaga yudikatif. Kewenangan untuk mengubah norma dalam sanksi ada pada lembaga pembentuk undang-undang, yakni DPR. “Bahwa berkaitan dengan rumusan norma sanksi pidana bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk merumuskannya,” ujar Guntur dalam sidang yang sama.

Mahkamah menilai, meskipun Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor telah dinyatakan konstitusional, penerapannya di lapangan kerap memunculkan perbedaan tafsir. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan ketidakseragaman penegakan hukum dan menggerus kepastian hukum dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.

Pedoman MK Ihwal Kajian dan Pembentukan Ulang UU Tipikor

MK merumuskan sejumlah prinsip yang perlu menjadi pegangan pembentuk undang-undang. Pertama, DPR dan pemerintah diminta segera melakukan kajian menyeluruh terhadap norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Kedua, apabila hasil kajian tersebut menunjukkan perlunya revisi atau perbaikan, agenda tersebut perlu diposisikan sebagai prioritas legislasi.

Ketiga, Mahkamah menegaskan bahwa setiap revisi harus diperhitungkan secara cermat dan matang agar tidak mengurangi politik hukum pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. “Keempat, substansi norma sanksi pidana perlu dirumuskan lebih berorientasi pada kepastian hukum guna mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan dalam pemberantasan korupsi,” kata Guntur. 

Kelima, Mahkamah menekankan pentingnya pelibatan seluruh kalangan yang konsisten terhadap agenda pemberantasan korupsi dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) dalam proses perumusan ulang UU Tipikor.

Mahkamah juga mengingatkan sebelum adanya perubahan undang-undang, aparat penegak hukum harus bertindak lebih cermat dan berhati-hati. Termasuk di dalamnya mempertimbangkan penerapan business judgment rule yang beririsan dengan hubungan hukum keperdataan, guna menghindari penerapan hukum yang tidak berkepastian dan tidak berkeadilan, sekaligus menjaga keseimbangan antara perlindungan hak terduga pelaku dan semangat pemberantasan korupsi.

Read Entire Article