Ragam Trauma Anak Korban Bencana Sumatera

16 hours ago 4

KETUA Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso mengungkapkan berbagai tanda trauma yang dialami anak-anak setelah bencana melanda wilayah Sumatera pada akhir November 2025. Saat ini, IDAI masih memprioritaskan pemulihan kondisi psikologis anak-anak korban bencana tersebut.

Menurut Piprim, respons trauma pada anak sangat beragam dan dipengaruhi oleh daya tahan serta kematangan psikologis masing-masing anak. “Ada anak yang menjadi pendiam, tidak mau makan dan minum, hingga mengalami gangguan tidur. Respons ini berbeda-beda, tergantung usia dan kematangan psikologis mereka,” ujar Piprim saat ditemui di Kantor IDAI, Salemba, Jakarta, Senin, 22 Desember 2025.

Ia menjelaskan, kondisi mental anak korban pascabencana juga berhubungan dengan situasi psikologis sebelum bencana terjadi. Anak dengan kematangan psikologis yang baik cenderung pulih lebih cepat. “Sebaliknya, anak yang belum matang secara psikologis berpotensi mengalami trauma yang lebih mendalam,” tutur Piprim.

Untuk menangani trauma tersebut, IDAI bekerja sama dengan psikolog dan psikiater anak. Kolaborasi ini dilakukan guna mengatasi dampak jangka pendek pascabencana sekaligus mencegah gangguan stres pascatrauma. “Trauma pada anak bisa membekas dalam jangka panjang sehingga membutuhkan intervensi yang berkelanjutan,” ujar dia.

Bencana ekologis melanda Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak 25 November 2025. Per Senin, 22 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB mencatat mala itu menyebabkan 1.106 orang meninggal, 7 ribu luka-luka, dan ratusan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal. Sementara 175 jiwa masih dinyatakan hilang.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

IDAI Sumatera Barat mencatat 65 persen anak di Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam mengalami gangguan tidur pascabencana. IDAI mengungkap gangguan tidur menjadi masalah yang cukup menonjol saat bencana.

“Untuk gangguan tidur, kami dapatkan di beberapa anak yang jumlahnya cukup tinggi, ya,” kata Ketua IDAI Sumatera Barat Asrawati yang hadir secara virtual dalam agenda perkembangan situasi kesehatan di tiga wilayah bencana Sumatera, Senin, 22 Desember 2025.

Asrawati menjelaskan, skrining gangguan tidur ini dilakukan pada 61 anak berusia 3 hingga 18 tahun yang terdampak bencana di wilayah tersebut. Dari total itu, IDAI menemukan 40 orang anak mengalami gangguan tidur dan 21 lainnya tidak mengalami gangguan tidur.

Selain gangguan tidur, IDAI juga mendeteksi gangguan cemas pascabencana pada anak di lokasi yang sama. Dari 15 anak responden berusia 3 hingga 18 tahun, IDAI menemukan dua anak dengan gangguan kecemasan atau anxiety disorder.

Secara rinci, satu anak dengan gangguan panik (panic disorder) dan satu lagi mengalami gangguan panik, gangguan kecemasan umum (generalized anxiety disorder), dan gangguan kecemasan perpisahan (separation anxiety disorder). Sementara itu, subyek lainnya tidak menunjukkan kriteria gangguan kecemasan.

Tak hanya gangguan tidur dan kecemasan, IDAI melakukan skrining gangguan stres pascatrauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD) pada anak di Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam. IDAI melakukan tes pada total 55 anak di lokasi tersebut. Hasil skrining pra-PTSD menggunakan instrumen Children's Revised Impact of Event Scale (CRIES) menunjukkan 49 responden atau 89 persen termasuk dalam kategori berisiko mengalami PTSD.

IDAI menilai temuan itu mengidentifikasi tingginya beban psikologis pada anak terdampak bencana. IDAI menegaskan perlunya intervensi psikososial dini dan sistem rujukan kesehatan mental yang terintegrasi.

Read Entire Article