BGN: Makanan Ultra Proses Bisa Dikonsumsi Asal Tak Berlebih

1 hour ago 3

Dewan Pakar Badan Gizi Nasional (BGN) Ikeu Tanziha mengatakan, makanan ultra-proses atau ultra processed food (UPF) tidak sepenuhnya dilarang untuk dikonsumsi anak. Namun, konsumsi makanan tersebut harus dibatasi secara ketat dan disesuaikan dengan kebutuhan gizi harian anak.

“UPF itu makanan yang dibuat supaya enak dan tahan lama, makanya ditambah pemanis, penyedap, dan pengawet. Boleh dimakan, karena ada BPOM. Yang tidak boleh itu kalau melebihi batas,” kata Ikeu dalam diskusi tentang MBG di Ruang Belajar Alex Tilaar, Jakarta Pusat, Selasa, 23 Desember 2025.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Ikeu menjelaskan, persoalan utama bukan pada keberadaan UPF, melainkan rendahnya literasi gizi orang tua dan pendamping anak dalam membaca kandungan gula, garam, dan lemak pada makanan kemasan. Ia mencontohkan, kebutuhan gula anak dalam sehari sekitar 30 gram. “Kalau satu biskuit itu gulanya 5 gram, makan enam biskuit saja sudah memenuhi batas harian. Itu sebabnya penting orang tua paham,” ujar dia.

Hal serupa berlaku pada konsumsi natrium. Ikeu menyebut kebutuhan natrium anak sekitar 1.500 miligram per hari. Namun, satu lembar keju sudah mengandung sekitar 300 miligram natrium, sementara dua lembar roti tawar mencapai 280 miligram. “Kalau anak makan satu slice keju dengan dua roti tawar, itu sudah hampir memenuhi kebutuhan natrium satu kali makan,” katanya.

Menurut Ikeu, kondisi ini menuntut peran ahli gizi untuk benar-benar memadukan menu makanan anak, termasuk saat memberikan makanan selingan. “Boleh keringan, boleh susu, tapi harus dipadu-padankan. Gulanya berapa, natriumnya berapa, lemaknya berapa,” ujar dia.

Dalam paparannya, Ikeu juga mendorong konsumsi susu segar 100 persen atau fresh milk dibandingkan susu rekonstitusi. Selain alasan gizi, konsumsi susu segar dinilai lebih mendukung produksi dalam negeri. “Kalau susu 100 persen fresh milk, itu pasti dari Indonesia. Kalau susu rekonstitusi, itu mendorong impor,” kata dia.

Namun, Ikeu menegaskan susu bukan satu-satunya sumber gizi. Jika sulit mendapatkan susu segar, anak bisa memperoleh kalsium dari sumber lain seperti telur dan ikan teri. “Teri itu kandungan kalsiumnya bisa mendekati susu. Proteinnya juga lebih tinggi dan lebih murah,” ujarnya.

Ia menjelaskan, protein dalam 200 mililiter susu segar hanya sekitar 6 gram, setara dengan satu butir telur. Karena itu, mengejar protein melalui susu dinilai tidak efisien, terutama dengan keterbatasan anggaran. “Yang dikejar dari susu itu kalsium, bukan protein. Kalsium penting untuk pertumbuhan anak, terutama balita,” kata Ikeu.

Atas dasar itu, Ikeu menyebut BGN cenderung menyarankan agar makanan selingan seperti biskuit diminimalkan, terutama jika perhitungan gizi harian tidak dilakukan secara cermat. Ia menilai, tanpa literasi gizi yang memadai, konsumsi UPF berisiko melampaui batas kebutuhan anak. “Kalau kita hitung betul energi, protein, lemak, gula, dan garamnya, sebenarnya bisa dipadu-padankan. Tapi kalau tidak dihitung, itu yang jadi masalah,” ujar dia.

Namun, berdasarkan temuan di beberapa daerah, paket MBG untuk anak di hari libur sekolah masih berisi biskuit dan makanan ultra proses sebagai makanan utamanya. Temuan biskuit kemasan dari brand ternama juga banyak sekali ditemukan di daerah. Hal itu disampaikan ahli gizi, Tan Shot Yen. “Saya punya story (di Instagram) itu laporan fakta semua, the facto, pembagian makanan UPF terus terjadi di lapangan. Minuman gandum serenceng, itu kasihan banget kalau menurut saya,” ujar Tan.

Dia berharap ada perbaikan tata kelola dalam pelaksanaan makan bergizi gratis ini. Dia juga menekankan, bergizi yang dimaksudkan bukan hanya yang tertera dalam komposisi gizi di kemasan makanan ultra proses. “Konsep makan bergizi itu makanan utuh. Coba buat otak-otak dari ikan, lepet kacang merah. Apa salahnya SPPG bikin itu?” kata Tan.

Read Entire Article