Kritik YLBHI Soal Pendekatan Militeristik Bencana Sumatera

2 hours ago 1

YAYASAN Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI mengkritik pendekatan militeristik yang dinilai mendominasi penanganan bencana Sumatera. Menurut YLBHI, pengerahan aparat bersenjata tidak menjawab akar persoalan bencana, yakni kegagalan mitigasi, perencanaan, dan perlindungan lingkungan.

Ketua YLBHI M. Isnur mengatakan penanganan bencana semestinya berfokus pada pengurangan risiko, kesiapsiagaan, dan pemulihan berbasis sipil. Namun yang terjadi, kata dia, justru penggunaan pendekatan keamanan melalui pembentukan satuan tugas dan pengerahan tentara. “Pemulihan dilakukan dengan cara militeristik, bukan dengan memperbaiki mitigasi, pencegahan, perencanaan, kesiapsiagaan, dan sistem peringatan dini,” ujar Isnur dalam iskusi daring bertajuk Kejahatan Kemanusiaan, Bencana Sumatera/Aceh dan Penyelamatan Hak Konstitusional Warga Negara pada Senin, 29 Desember 2025.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Ia menilai dominasi aparat muncul sejak negara gagal menjalankan kewajiban pada tahap pra-bencana. Ia menyebut pengabaian tata ruang, pembiaran pembukaan hutan, kerusakan daerah aliran sungai, serta tidak ditindaklanjutinya peringatan dini dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai akar persoalan banjir bandang di tiga provinsi tersebut.

Menurut Isnur, alih-alih melakukan evaluasi menyeluruh, pemerintah justru mengedepankan pendekatan komando pada fase tanggap darurat. Akibatnya, proses penyelamatan, evakuasi, dan pemenuhan kebutuhan dasar warga berjalan lambat dan tidak terkoordinasi, terutama di wilayah-wilayah terisolasi.

Ia juga menyoroti sikap pemerintah yang menolak bantuan internasional dan memandang laporan relawan serta warga di media sosial sebagai gangguan. Padahal, kata Isnur, dalam regulasi penanggulangan bencana justru menempatkan partisipasi publik dan bantuan internasional sebagai bagian sah dari penanganan bencana. “Menolak bantuan dan mencurigai relawan adalah kesalahan fatal,” ujarnya.

Pendekatan keamanan, lanjut Isnur, berimbas pada penyempitan ruang sipil di lokasi bencana. Kritik dan ekspresi kekecewaan warga kerap ditanggapi secara represif. “Ketika masyarakat bersuara, itu dianggap sebagai ancaman atau bibit pemberontakan. Bencana ekologis akhirnya bergeser menjadi krisis demokrasi,” katanya.

Isnur menyebut kondisi tersebut memperlihatkan tiga masalah utama dalam penanganan bencana: inkompetensi, sikap anti-sains, dan arogansi kekuasaan. Ketiganya, menurut dia, membuat masa tanggap darurat berlarut hingga lebih dari sebulan tanpa arah pemulihan yang jelas.

Di tengah situasi itu, Isnur mengapresiasi peran masyarakat sipil yang justru menjadi penopang utama penanganan bencana. Kantor-kantor lembaga bantuan hukum, kata dia, berubah fungsi menjadi dapur umum dan pusat penggalangan bantuan. “Masyarakat sipil bergerak karena negara tidak hadir secara memadai,” ujarnya.

YLBHI menegaskan penanganan bencana harus dikembalikan pada prinsip sipil dan berbasis ilmu pengetahuan, dengan prioritas pada mitigasi lingkungan, pemulihan korban, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. Tanpa perubahan pendekatan, Isnur memperingatkan, pola penanganan yang keliru ini berpotensi menjadi standar baru dalam setiap bencana di Indonesia.

Dalam konferensi pers tanggap bencana Sumatera pada Jumat, 19 Desember 2025 lalu, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya mengatakan pemerintah sejak awal membantu penanganan bencana banjir Sumatera di akhir November 2025.

"Sejak hari pertama, detik pertama, sampai seterusnya, untuk mempercepat bagaimana caranya ini segera pulih. Jadi, kalau ada di antara saudara-saudara punya pengaruh dan punya kemampuan untuk berbicara panjang lebar, gunakanlah dengan bijak," kata dia dalam konferensi pers tanggap bencana Sumatera di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat, 19 Desember 2025.

Teddy meminta kelompok yang menyebut pemerintah lamban bekerja dalam menangani bencana untuk bijak berbicara. Ia juga meminta kelompok itu tidak memperumit keadaan. Dia meminta kelompok itu tidak mengiring opini bahwa pemerintah tidak bekerja menangani bencana. "Bukan sebaliknya, memperumit. Sampaikan pernyataan dan pertanyaan yang bijak. Jangan menggiring-giring seolah pemerintah tidak kerja," kata dia. 

Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article